Metodologi penentuan awal bulan Qamariah, baik untuk menandai
permulaan Ramadhan, Syawal dan bulan lainnya harus didasarkan pada
penglihatan bulan secara fisik (rukyatul hilal bil fi'ly). Sedangkan metode perhintungan astronomi (hisab) dipakai untuk membantu prosesi rukyat.
Jumhurul madzahib (mayoritas imam madzhab selain madzhab Syafi'iyyah) berpendapat bahwa pemerintah sebagai ulil amri diperbolehkan menjadikan ru'yatul hilal
sebagai dasar penetapan awal bulan Qamariah, khususnya Ramadhan, Syawal
dan Dzulhijjah, seperti yang terjadi di Indonesia saat ini. Adapun
dasar hukumnya antara lain:
a. Hadist muttafaq alaihi (diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim) yang berbunyi:
حدَّثَنَا آدَمُ
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ
أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا
لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ
ثَلَاثِينَ
"Berpuasalah kalian pada saat kalian telah melihatnya (bulan),
dan berbukalah kalian juga di saat telah melihatnya (hilal bulan Syawal)
Dan apabila tertutup mendung bagi kalian maka genapkanlah bulan Sya'ban
menjadi 30 hari." (HR. Bukhari: 1776 dan Imam Muslim 5/354)
Dari hadist diatas, jelas sekali bahwa Rasulullah SAW hanyalah menetapkan "melihat bulan" (rukyatul hilal)
sebagai causa prima dari permulaan ibadah puasa dan permulaan Idul
Fitri, dan bukan dengan sudah wujud tidaknya ataupun apalagi cara
menghitungnya. Terbukti, dari penggalan kedua redaksi ucapan Rasulullah
SAW di atas yang menyuruh menyempurnakan bulan Sya'ban sebanyak 30 hari
apalagi tidak berhasil melihat walaupun secara perhitungan astronomis (hisab) mungkin sudah ada.
b. Kenyataan yang terjadi pada masa Rasulullah SAW, bahwa beliau
memerintahkan puasa langsung setelah datang kepada beliau persaksian
seorang muslim tanpa menanyakan asal si saksi, apakah dia melihatnya di
daerah mathla' yang sama dengan beliau atau berjauhan. Sebagaimana dalam
hadits:
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ
إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي
رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ الْحَسَنُ فِي حَدِيثِهِ يَعْنِي رَمَضَانَ
فَقَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ
أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا
بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ فَلْيَصُومُوا غَدًا
"Datang seorang Badui ke Rasulullah SAW seraya berkata:
Sesungguhnya aku telah melihat hilal. (Hasan, perawi hadits menjelaskan
bahwa hilal yang dimaksud sang badui yaitu hilal Ramadhan). Rasulullah
SAW bersabda: Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah? Dia
berkata: Benar. Beliau meneruskan pertanyaannya seraya berkata: Apakah
kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah? Dia berkata: Ya benar.
Kemudian Rasulullah memerintahkan orang-orang untuk berpuasa besok." (HR Abu Daud 283/6)
c.Dalam kitab Fathul Qodir fiqh madzhab Hanafi pada jilid ke 4 hal 291 dijelaskan:
وَإِذَا ثَبَتَ فِي
مِصْرَ لَزِمَ سَائِرَ النَّاسِ فَيَلْزَمُ أَهْلَ الْمَشْرِقِ بِرُؤْيَةِ
أَهْلِ الْمَغْرِبِ فِي ظَاهِرِ الْمَذْهَبِ
"Apabila telah ditetapkan bahwa hilal telah terlihat di sebuah
kota, maka wajib hukumnya penduduk yang tinggal di belahan bumi Timur
untuk mengikuti ketetapan ru'yah yang telah diambil kaum muslimin yang
berada di belahan bumi Barat".
Dalam ta'bir di atas telah dijelaskan bahwa wajib hukumnya bagi umat
Islam yang tinggal di daerah Timur untuk mengikuti ketetapan ru'yah yang
telah diambil oleh kaum muslimin di wilayah Barat. Dan sebaliknya,
apabila mereka yang tinggal di wilayah Timur terlebih dahulu telah
melihat dan menetapkannya, maka kewajibannya lebih utama karena secara
otomatis umat Islam bagian Timur terlebih dahulu melihat hilal dari pada
mereka yang tinggal di Barat.
d. Dalam kita Furu' Milik ibn Muflih fiqh madzhab Hambali juz 4 hal 426 disebutkan:
َإِنْ ثَبَتَتْ
رُؤْيَتُهُ بِمَكَانٍ قَرِيبٍ أَوْ بَعِيدٍ لَزِمَ جَمِيعَ الْبِلَادِ
الصَّوْمُ ، وَحُكْمُ مَنْ لَمْ يَرَهُ كَمَنْ رَآهُ وَلَوْ اخْتَلَفَتْ
الْمَطَالِعُ
"Apabila bulan telah terlihat dalam suatu tempat, baik jaraknya
dekat atau jauh dari wilayah lain, maka wajib seluruh wilayah untuk
berpuasa mengikuti ru'yah wilayah tersebut. Hukum ini juga berlaku bagi
mereka yang tidak melihatnya sepertihalnya mereka yang melihatnya secara
langsung, dan perbedaan wilayah terbit bukanlah penghalang dalam
penerapan hukum ini"
e. Dalam kita Mawahib Jalil fi Syarh Mukhtashor Syaikh Kholil juz 6 hal 396 dijelaskan:
أَمَّا سَبَبُهُ أَيْ الصَّوْمِ فَاثْنَانِ الْأَوَّلُ : رُؤْيَةُ الْهِلَالِ وَتَحْصُلُ بِالْخَبَرِ الْمُنْتَشِرِ
"Adapun sebab diwajibkannya puasa ada dua, yang pertama:
terlihatnya bulan, dengan syarat ru'yahnya melalui kabar yang sudah
tersebar luas."
Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa penetapan bulan
Ramadhan hanya ditetapkan dengan terlihatnya bulan tanpa disebutkan
adanya syarat-syarat lain untuk diterimanya ru'yah ini, yaitu
diantaranya tanpa dengan menyebutkan ketentuan perbedaan terbitnya bulan
pada wilayah yang berjauhan (ikhtilaf matholi').
f. Bughyatul Mustarsyidin
لاَ يَثْبُتُ
رَمَضَانُ كَغَيْرِهِ مِنَ الشُّهُوْرِ إِلاَّ بِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ أَوْ
إِكْمَالِ الْعِدَّةِ ثَلاَثِيْنَ بِلاَ فَارِقٍ
Bulan Ramadhan sama seperti bulan lainnya tidak tetap kecuali dengan melihat hilal, atau menyempurnakan bilangan menjadi tiga puluh hari.
g. Al-‘Ilm al-Manshur fi Itsbat al-Syuhur
قَالَ سَنَدُ
الْمَالِكِيَّةِ لَوْ كَانَ اْلإِمَامُ يَرَى الْحِسَابَ فِي الْهِلاَلِ
فَأَثْبَتَ بِهِ لَمْ يُتْبَعْ لإِجْمَاعِ السَّلَفِ عَلَى خِلاَفِهِ
Para tokoh madzhab Malikiyah berpendapat: “Bila seorang penguasa mengetahui hisab tentang (masuknya) suatu bulan, lalu ia menetapkan bulan tersebut dengan hisab, maka ia tidak boleh diikuti, karena ijma’ ulama salaf bertentangan dengannya.”
II. PENENTUAN DENGAN CARA HISAB
Terdapat banyak pandangan mengenai penentuan penanda awal bulan
kamariah, lima di antaranya diuraikan dalam buku Pedoman Hisab
Muhammadiyah. Pertama,
ijtimak sebelum fajar; awal bulan kamariah ditandai dengan terjadinya
ijtimak (konjungsi) bulan dan matahari sebelum terbit fajar. Kombinasi
fenomena ijtimak bulan-matahari dan terbit fajar merupakan penanda awal
bulan baru kamariah bagi pandangan ini. Ijtimak bulan-matahari yang
terjadi sebelum terbit fajar menunjukkan bahwa sejak saat terbit fajar
tersebut bulan baru (tanggal 1bulan baru) kamariah dimulai. Dengan
perkataan lain, awal bulan baru kamariah dimulai sejak terbit fajar yang
terjadi menyusul setelah terjadinya ijtimak bulan-matahari. Sebaliknya,
terbit fajar yang terjadi menjelang terjadinya ijtimak bulan-matahari
merupakan hari terakhir dari bulan kamariah yang sedang berlangsung.
Kedua, ijtimak sebelum gurub (terbenam matahari); awal bulan kamariah
ditandai dengan terjadinya ijtimak (konjungsi) bulan dan matahari
sebelum terbenam matahari. Kombinasi fenomena ijtimak bulan-matahari dan
terbenam matahari merupakan penanda awal bulan baru kamariah bagi
pandangan ini. Ijtimak bulan-matahari yang terjadi sebelum terbenam
matahari menunjukkan bahwa sejak saat terbenam matahari tersebut bulan
baru (tanggal 1 bulan baru) kamariah dimulai. Dengan perkataan lain,
awal bulan baru kamariah dimulai sejak terbenam matahari yang terjadi
menyusul setelah terjadinya ijtimak bulan-matahari. Sebaliknya, terbenam
matahari yang terjadi menjelang terjadinya ijtimak bulan-matahari
merupakan hari terakhir dari bulan kamariah yang sedang berlangsung.
Ketiga, bulan terbenam setelah matahari terbenam; awal bulan kamariah
ditandai dengan pertama kalinya matahari terbenam sebelum terbenam
bulan, atau pertama kalinya terbenam bulan sesudah terbenam matahari.
Kombinasi fenomena terbenam matahari dan terbenam bulan merupakan
penanda awal bulan baru kamariah bagi pandangan ini. Terbenam matahari
yang pertama kali terjadi sebelum terbenam bulan menunjukkan bahwa sejak
saat terbenam matahari tersebut bulan baru (tanggal 1 bulan baru)
kamariah dimulai. Dengan perkataan lain, awal bulan baru kamariah
dimulai sejak terbenam matahari yang terjadi sebelum terbenam bulan.
Sebaliknya, terbenam matahari yang terjadi menjelang terjadinya sesudah
terbenam bulan menunjukkan awal bulan baru kamariah belum dimulai.
Keempat, imkanur-rukyat; awal bulan kamariah dimulai sejak terbenam
matahari manakala ketinggian bulan saat itu mencapai tingkat sedemikian
rupa sehingga dalam keadaan normal tanpa ada gangguan bulan mungkin atau
bahkan dipastikan dapat dilihat. Ukuran ketinggian bulan yang mungkin
dapat dilihat tersebut oleh pemerintah Indonesia, khususnya oleh
Kementerian Agama RI ditetapkan 02°di atas ufuk (horizon). Ketinggian
bulan minimum 02°dan terbenam matahari ini merupakan kombinasi fenomena
alam yang menandai dimulainya awal bulan baru kamariah. Jika pada suatu
ketika, saat terbenam matahari ketinggian bulan minimum 02°di atas ufuk,
maka saat itu dimulailah tanggal 1 bulan baru kamariah, sebaliknya
apabila ketinggian bulan tidak mencapai batas minimum tersebut maka awal
bulan baru kamariah belum dimulai. Kelima, wujudul-hilal; awal bulan
baru kamariah dimulai sejak terbenam matahari yang terjadi untuk pertama
kalinya setelah terjadi ijtimak bulan-matahari dan sebelum terbenam
bulan. Jadi untuk dapat ditetapkan tanggal 1 bulan baru kamariah pada
saat matahari terbenam tersebut harus terpenuhi tiga syarat secara
kumulatif, yaitu sudah terjadi ijtimak bulan-matahari, ijtimak
bulan-matahari terjadi sebelum terbenam matahari, dan pada saat terbenam
matahari bulan belum terbenam. Jika salah satu saja dari tiga syarat
tersebut tidak terpenuhi maka awal bulan baru kamariah tidak dapat
ditetapkan.
Penanda awal bulan kamariah sebagaimana diuraikan di atas, masih
terbatas pada perspektif hisab hakiki, yaitu perhitungan terhadap
fenomena benda langit secara faktual (menurut yang sesungguhnya). Di
samping itu, masih ada penanda lain yang dipedomani dalam hisab urfi atau dalam metode rukyat. Penanda awal bulan kamariah dalam metode rukyat adalah terlihatnya hilal.
Seperti terlihat dalam uraian di atas, acuan dalam penetapan awal bulan
kamariah adalah fenomena bulan. Meskipun persisnya fenomena bulan yang
dijadikan penanda awal bulan tersebut bervariasi dan kombinasinya dengan
fenomena atau variabel lain berbeda, namun tidak dapat dipungkiri bahwa
acuan pokok dalam penentuan awal bulan kamariah adalah bulan. Bahkan
bukan saja menjadi acuan dalam penentuan awal bulan kamariah tetapi juga
otomatis menjadi acuan dalam kalender kamariah. Itulah sebabnya bulan
atau kalender dimaksud diberi label ‘kamariah’ (berasal dari kata Arab
‘qamariyyah’ dari kata benda ‘qamar’ artinya bulan). Hal ini berbeda
dengan bulan atau kalender masehi yang acuannya fenomena matahari, dan
oleh karenanya dikenal dengan bulan atau kalender ‘syamsiah’ (berasal
dari kata Arab ‘syamsiyyah’ dari kata benda ‘syams’ artinya matahari).
Bulan sebagai acuan dalam penentuan siklus waktu bulanan maupun tahunan
diisyaratkan dengan jelas baik dalam al-Qur’an maupun Hadis Nabi saw.
Firman Allah swt dalam surat Yunus (10) ayat 5:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ
مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ
ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ اْلآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ.
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan
ditetapkan-Nya bagi bulan itu manzilah-manzilah, supaya kamu mengetahui
bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang
demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda
(kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa bulan dengan manzilah-manzilahnya itu
harus menjadi acuan dalam perhitungan tahun (kalender) dan sekaligus
menjadi basis perhitungan waktu sejauh menyangkut siklus waktu bulanan
dan tahunan. Tantawi Jauhari (lahir 1870 M) memberikan pernyataan
berkaitan dengan ayat ini dengan mengatakan bahwa seandainya tidak ada
bulan (qamar) maka tidak akan ada bulan (siklus bulanan) dan minggu
(siklus mingguan).
Adapun hadis Nabi saw yang memberi isyarat demikian cukup banyak, salah
satunya adalah hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari
(w. 256 H):
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِصلي الله عليه وسلمذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَلاَ
تَصُوْمُوْا حَتىَّ تَرَوُا اْلهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتىَّ تَرَوْهُ
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ[البخاري]
Bahwasannya Rasulullah saw menceriterakan tentang ramadan, lalu
beliau bersabda: Janganlah kamu berpuasa sebelum melihat hilal dan
janganlah kamu beridul fitri sebelum melihat hilal; jika bulan terhalang
oleh awan terhadapmu, maka perkirakanlah.
Hadis ini dengan tegas menjadikan terlihatnya hilal yang tidak lain
adalah tampakan bulan yang terlihat dari bumi sebagai acuan dalam
menentukan awal bulan Ramadan dan awal bulan Syawal (awal bulan
kamariah).
Dengan demikian tidak ada alasan untuk tidak menjadikan bulan sebagai
acuan dalam penentuan awal bulan kamariah yang sekaligus juga untuk
penyusunan kalendernya.
Dalam uraian di atas juga terlihat, ada di antara pendapat yang
menjadikan fenomena ijtimak bulan-matahari sebagai parameter dalam
penentuan awal bulan kamariah seperti pendapat pertama (ijtimak sebelum
fajar), kedua (ijtimak sebelum gurub), keempat (imkan rukyat), dan
kelima (wujudul hilal), ada pula yang tidak menjadikan ijtimak
bulan-matahari sebagai parameter seperti pendapat ketiga (bulan terbenam
setelah matahari terbenam). Di samping itu, terdapat perbedaan dalam
hal menetapkan posisi bulan di atas ufuk pada saat terbenam matahari.
Pendapat ketiga, keempat, dan kelima menjadikan posisi bulan di atas
ufuk pada saat terbenam matahari sebagai parameter, sementara itu
pendapat pertama dan kedua tidak menjadikannya sebagai parameter.
Pendapat keempat dan kelima bukan saja menjadikan posisi bulan di atas
ufuk sebagai parameter akan tetapi menggabungkannya dengan parameter
ijtimak bulan-matahari. Kedua pendapat terakhir ini menetapkan bahwa
ijtimak bulan-matahari harus terjadi sebelum terbenam matahari. Hal ini
perlu karena dalam waktu tertentu untuk tempat yang tertentu bulan
berada di atas ufuk, atau dengan perkataan lain belum terbenam, pada
saat matahari terbenam padahal ijtimak bulan-matahari terjadi setelah
terbenam matahari.
Uraian di atas memperlihatkan juga bahwa permulaan hari menurut
pendapat-pendapat tersebut berbeda. Pendapat pertama menjadikan terbit
fajar sebagai permulaan hari, atau pergantian hari, sedangkan pendapat
lainnya menjadikan terbenam matahari sebagai permulaan hari. Hal ini
dapat diketahui dari kapan awal bulan kamariah itu dimulai, jika awal
bulan kamariah itu dimulai pada saat terbit fajar maka otomatis awal
hari juga dimulai pada saat itu karena tidak mungkin awal bulan atau
permulaan tanggal dimulai bukan pada permulaan hari, atau tidak pada
saat pergantian hari. Demikian halnya, jika menetapkan awal bulan
kamariah pada saat terbenam matahari, seperti terlihat pada pendapat
kedua, ketiga, keempat, dan kelima, maka permulaan hari pun otomatis
pada saat terbenam matahari. Menjadi jelas bahwa permulaan hari dalam
sistem kamariah berbeda dengan sistem syamsiah yang menetapkan waktu
pergantian hari pada saat matahari mencapai kulminasi bawah atau jam
00.00 atau jam 12.00 malam.
Di antara lima pendapat di atas, manakah yang dianut oleh hisab
Muhammadiyah? Hisab Muhammadiyah menganut pendapat yang kelima yaitu
wujudul-hilal dengan tiga kriteria atau parameternya secara kumulatif,
telah terjadi ijtimak bulan-matahari, ijtimak terjadi sebelum terbenam
matahari, dan bulan di atas ufuk (belum terbenam) pada saat matahari
terbenam. Dimaksud dengan menentukan tanggal 1 bulan baru kamariah
berdasarkan wujudul-hilal menurut penuturan K.H. Muhammad Wardan
Diponingrat adalah menentukan tanggal 1 bulan baru berdasarkan hisab
dengan tiada batasan tertentu, pokok (yang penting) asal hilal sudah
wujud. Sedang yang dimaksud dengan hilal sudah wujud adalah matahari
terbenam lebih dahulu daripada terbenamnya bulan (hilal) walaupun hanya
sejarak 1 menit atau kurang.
Persoalannya adalah, mengapa Muhammadiyah memilih hisab dan tidak
memilih rukyat untuk menentukan awal bulan kamariah atau untuk menyusun
kalender? Mengapa Muhammadiyah memilih hisab wujudul-hilal atau
bagaimana rumusan metodologisnya sehingga hisab wujudul hilal menjadi
pilihan? Dan selanjutnya bagaimana metode perhitungan untuk menentukan
konsep wujudul hilal tersebut?
Persoalan-persoalan sudah dikupas dalam buku Pedoman Hisab Muhammadiyahhalaman 13-18 dan halaman 73-94. Makalah ini berusaha untuk menambah penjelasan pada persoalan yang kedua dan ketiga.
Siklus bulan mengitari bumi mutlak harus dijadikan sebagai pangkal
tolak untuk menentukan awal bulan kamariah. Pergantian bulan dari bulan
yang sedang berlangsung kepada bulan baru berikutnya baru terjadi
apabila bulan telah sempurna dalam peredarannya mengitari bumi.
Persoalannya adalah, siklus peredaran bulan mengitari bumi tersebut ada
dua macam, yaitu siklus peredaran bulan mengitari bumi relatif terhadap
suatu bintang tetap yang dikenal dengan peredaran bulan sideris
(sidereal month), dan siklus peredaran bulan mengitari bumi relatif
terhadap matahari yang dikenal dengan peredaran bulan sinodis (synodic
month).
Siklus
peredaran bulan sideris adalah periode yang sebenarnya dari bulan
mengitari bumi. Periode tersebut merupakan interval waktu antara dua
kali konjungsi antara titik pusat bulan dengan sebuah bintang dilihat
dari titik pusat bumi. Lama periodenya rata-rata 27 hari 7 jam 43 menit
11,5 detik atau mendekati 27 1/3 hari (27,321661 hari). Waktu selebihnya
dari 7 jam terse-but selalu berubah-ubah di-sebabkan oleh adanya
pe-ngaruh benda langit lain di angkasa.
Gambar 1: orbit bulan dan bumi
Siklus peredaran bulan sinodis adalah interval waktu antara dua kali
konjungsi bulan dan matahari. Interval waktu bulan sinodis ini lebih
lama dari bulan sideris karena matahari yang dijadikan sebagai
referensinya juga ikut bergerak (gerak semu tahunan matahari) dengan
arah yang sama dengan arah geraknya bulan, meskipun gerak matahari ini
jauh lebih lambat dari geraknya bulan. Lama periodenya rata-rata 29 hari
12 jam 44 menit 02,8 detik atau lebih dari 29 1/2 hari.
Manakah di antara dua siklus bulan tersebut yang diacu? Untuk menjawabnya harus diperhatikan sabda Nabi saw.
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لا نَكْتُبُ ولا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا
وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلاثِينَ
[البخاري ومسلم]
Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa
menulis dan tidak bisa menghitung (hisab). Bulan itu adalah
demikian-demikian, yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan
kadang-kadang tiga puluh hari.
Hadis ini menyatakan dengan jelas bahwa umur bulan kamariah itu
kadang-kadang 29 hari dan kadang-kadang 30 hari. Dengan perkataan lain,
paling singkat 29 hari sehingga tidak ada umur bulan yang 28 hari atau
kurang, dan paling lama 30 hari sehingga tidak ada umur bulan yang 31
hari atau lebih. Dengan demikian siklus bulan yang dijadikan acuan dalam
penentuan awal bulan kamariah adalah siklus bulan sinodis bukan siklus
bulan sideris. Interval waktu dalam siklus bulan sinodis, sebagaimana
disbutkan di atas, rata-rata 29 hari 12 jam 44 menit 02,8 detik. Namun
demikian interval waktu ini dapat berubah, mungkin kurang mungkin pula
lebih. Peredaran bulan tidak hanya dipengaruhi oleh bumi dan matahari,
tetapi juga oleh planit-planit. Oleh karena itu, menurut keadaan yang
sebenarnya, interval waktu siklus bulan sinodis pun tidak tepat 29 hari
12 jam 44 menit 02,8 detik. Akibatnya, tidak dapat dibuat otomatis umur
bulan secara bergantian antara 29 hari dan 30 hari, sebagaimana
dilakukan dalam hisab ‘urfi, melainkan harus dihitung secara akurat
setiap bulan. Interval waktu siklus bulan sinodis selama tahun 2011
berturut-turut adalah 29 hari 11 jam 56 menit, 29 hari 10 jam 14 menit,
29 hari 08 jam 47 menit, 29 hari 08 jam 05 menit, 29 hari 08 jam 24
menit, 29 hari 09 jam 46 menit, 29 hari 11 jam 51 menit, 29 hari 14 jam
12 menit, 29 hari 16 jam 19 menit, 29 hari 17 jam 46 menit, 29 hari 18
jam 15 menit, 29 hari 17 jam 28 menit.
Seandainya bulan pertama ditetapkan 29 hari maka masih tersisa waktu 11
jam 56 menit ditambahkan pada siklus untuk bulan kedua menjadi 29 hari
22 jam 10 menit (11 jam 56 menit + 29 hari 10 jam 14 menit). Ternyata
untuk bulan kedua masih kurang dari 30 hari, oleh karena itu umur bulan
kedua pun masih ditetapkan 29 hari. Jika kelebihan 22 jam 10 menit
tersebut ditambahkan pada siklus bulan ketiga maka menjadi 30 hari 06
jam 57 menit (22 jam 10 menit + 29 hari 08 jam 47 hari = 29 hari 30 jam
57 menit = 30 hari 06 jam 57 menit). Jadi bulan ketiga umurnya 30
Alasan Penggunaan Hisab
Kedua,jika spirit Qur’an adalah hisab, mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa Az-Zarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi Saw adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim, “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari.”
Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahli hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qardawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.
Ketiga,dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr. Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.
Keempat,rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat. Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajat dan di bawah lintang selatan 60 derajat adalah kawasan tidak normal, dimana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melebihi 24 jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.
Kelima,jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.
Keenam,rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijjah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.
Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras di seluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian sistem waktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan agar kita memegangi hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat. Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir al Khittami wa at Tausyiyah) menyebutkan: “Masalah penggunaan hisab: para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariah di kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat.”
Sebagaimana diketahui pada garis besarnya sistem penetapan awal bulan Qamariyah ada dua yaitu hisab dan ru'yah. Kedua sistem ini bermaksud untuk mengamalkan sabda Rasulullah SAW tentang penentuan awal bulan khususnya bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah, yaitu :
Ru'yatuI hilalyang dalam istilah astronomi disebut observasi secara langsung awal bulan Ramadhan dan awal bulan Syawwal yaitu sabda Rasulullah SAW yang artinya: "Berpuasalah kamu ketika melihat bulan (bulan sabit Ramadhan) dan berbukalah kamu ketika melihat bulan (bulan Syawwal) maka jika mendung hendaklah kamu sempurnakan bulan Sya'ban tiga puluh hari. (hadis ru'yah, dalam Kitab Shahihul al-Bukhari, hadis yang ke-940). Menurut prinsip ru'yat penentuan awal bulan harus dibuktikan dengan melihat bulan sabit (hilal) di atas ufuk pada hari yang ke 29. Jika hilal tidak berhasil dilihat karena mendung atau tertutup awan maka harus diistikmalkan/disempurnakan 30 hari. Ru'yah berasal dari akar kata ra'a yang artinya melihat dengan mata telanjang sebagaimana di zaman Rasulullah Saw. Jadi golongan ahli ru'yah ini berpatokan kalau sudah melihat bulan sabit (baru), baru hidup bulan (datang bulan baru). Kalau tidak melihat bulan karena mendung atau tertutup awan maka bulan masih belum hidup (masih tanggal 30), sehingga tanggal satu bulan baru pada besok lusa. demikianlah pendapat ulama dari kalangan mazhab Syafi'i antara lain Ibnu Hajar Al Haitami dalam kitab Tuhfah juz ke IIIhal 374 yang intinya mewajibkan puasa dikaitkan dengan ru'yatul hilal yang terjadi setelah terbenam mata hari bukan karena wujudnya hilal walaupun bulan sudah tinggi di atas ufuk kalau bulan tidak terlihat belum masuk bulan baru.
Sistem hisabmenurut Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, M.A.yang disampaikan dalam pengajian Ramadhan 1431 H PP Muhammadiyah di Kampus Terpadu UMY. “Hisab yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal, yaitu metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter: telah terjadi konjungsi atau ijtima', ijtima' itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk.”
Pada prinsipnya hisab berdasarkan sistem ijtima, yaitu antara bumi dan bulan berada pada satu garis lurus astronomi. Bulan menyelesaikan satu kali putaran mengelilingi bumi dalam waktu 29 hari 44 menit 27 detik atau satu keliling. Jika ijtima terjadi setelah matahari terbenam pada hari ke 29 maka besoknya terhitung hari yang ke 30 (bulan baru belum wujud), tetapi jika ijtima terjadi sebelum mata hari terbenam hari yang 29 maka besoknya terhitungbulan baru atau tanggal 1. Hisab ini berdasarkan firman Allah Surah Yunus ayat 5 yang artinya :
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan
bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat)
bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan
perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan
dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada
orang-orang yang Mengetahui.
Dalam hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
yang artinya: Sebenarnya bulan itu dua puluh sembilan hari maka
janganlah kamu berpuasa sehingga
kamu melihat bulan dan janganlah kamu berhari raya sebelum kamu melihat
bulan, jika mendung "kadarkanlah" olehmu untuknya.Para ulama berbeda pendapat tentang arti kata-kata "kadarkanlah". Ada yang menafsirkan sempumakanlah 30 hari. Ada pula yang berpendapat arti "kadarkanlah" tersebut adalah "fa'udduhu bil hisab" artinya kadarkanlah dengan berdasarksn hisab dari pendapat lbnu Rusyd dalam kitabnya Bidayalul Mujtahid. Demikian pula Ibnu Syauraidi Mutarrif dan Ibnu Qulaibah bahwa yang dimaksud "kadarkanlah" ialah dihitung menurut ilmu falak. Ulama Syatriyah yakni Imam Ramli dalam kitabnya Nihayatul Mujtahid Juz III hal. 148 menyatakan: Bahwa bagi ahli hisab dan orang orang yang mempercayainya wajib berpuasa berdasarkan hisabnya. Demikian pula kalau ada orang yang mengaku telah melihat bulan padahal menurut perhitungan hisab bulan belum terwujud maka kesaksian ituditolak (Tuhfah Juz IIIhal. 382). Aliran baru Imam Qalyubi menjelaskan ada 10 pengertian yang dikandung dalam hadis shumu liru'yatihi, diantaranya adalah ru'yah diartikan pada ilmu pengetahuan, maka pendapat ahli hisab tentang bulan atau tanggal dapat diperpegangi (Qalyubi Juz II hal 49), jadi ru'yah tidak mesti dengan mata telanjang.
Mengapa Muhammadiyah memakai sistem hisab ?
Prinsip yang selalu dianut oleh persyarikatan Muhammadiyah adalah setia mengikuti perkembangan zaman kemajuan sains dan teknologi yang menyelaraskan dengan hukum-hukum Islam. Inilah yang dikenal sebagai tarjih dan pemikiran. Apalagi masalah keumatan khususnya dalam penetapan awal bulan Ramadhan dan Syawal, para ahli hisab Muhammadiyah yang tergabung dalam Majelis Tarjih dan Tajdid telah memberikan pendapatnya kemudian dituangkan dalam surat keputusan pimpinan pusat Muhammadiyah tentang penetapan awal Ramadhan dan Syawal.
Hukum yang ditetapkan Muhammadiyah harus berangkat dari dalil Naqli Al-Qur'an dan As-Sunah Shahihah dan dari acuan pokok tersebut dikembangkan berdasarkan kaedah Ushul Fiqh.
Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan menggunakan sistem hisab hakiki wujudul hilalartinya memperhitungkan adanya hilal pada saat matahari terbenam dan dengan dasar Al-Qur'an Surah Yunus ayat 5 di atas dan Hadis Nabi tentang ru'yah riwayat Bukhari. Memahami hadis tersebut secara taabudi atau gairu ma'qul ma'na/tidak dapat dirasionalkan, tidak dapat diperluas dan dikembangkan sehingga ru'yah hanya dengan mata telanjang tidak boleh pakai kacamata dan teropong dan alat-alat lainnya, hal ini terasa kaku dan sulit direalisasikan. Apalagi daerah tropis yang selalu berawan ketika sore menjelang magrib, jangankan bulan, matahari pun tidak kelihatan sehingga ru'yah mengalami gagal total.
Hadis tersebut kalau diartikan dengan Ta'qul ma'naartinya dapat dirasionalkan maka ru'yah dapat diperluas, dikembangkan melihat bulan tidak terbatas hanya dengan mata telanjang tetapi termasuk semua sarana alat ilmu pengetahuan, astronomi, hisab dan sebagainya. Sebaliknva dengan memahami bahwa hadis ru'yah itu ta'aquli ma'na maka hadis tersebut akan terjaga dan terjamin relevansinya sampai hari ini, bahkan sampai akhir zaman nanti. Berlainan dengan masalah ibadahnya seperti shalat hari raya, itu tidak dapat dirasionalkan apalagi dikompromikan karena ketentuan tersebut sudah baku dari sunnah Rasul. Tetapi kalau menuju ke arah ibadah itudapat diijtihadi, misalnya berangkat haji ke Mekkah silahkan dengan transportasi yang modern tetapi kalau dalam pelaksanaan hajinya sudah termasuk ibadah harus sesuai dengan sunnah Rasul. Dengan pemahaman semacam ini hukum Islam akan tetap up to date dan selalu tampil untuk menjawab tantangan zaman.
Dengan demikian maka Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan memakai
sistem hisab berdasarkan wujudul hilal. Andaikata ketentuan hisab
tersebut berbeda dengan pengumuman pemerintah apakah melanggar ketentuan
pemerintah? atau dengan melanggar Al-qur'an surah Annisa ayat 59 "Athiullah wa athi'u ar rasul wa ulil amri minkum".
Muhammadiyah tidak melanggar ketentuan pemerintah dalam soal ketaatan
beragama sebab pemerintah membuat pengumuman bahwa hari raya tanggal
sekian dan bagi umat Islam yang merayakan hari raya berbeda berdasarkan
keyakinannya, makadipersilahkan dengan sama-sama menghormatinya. Jadi
pemerintah sendiri sudah menyadari dan mengakomodir perbedaan tersebut.
Demikian agar semua menjadi maklum.
III. PENDAPAT ULAMA TENTANG METODE HISAB
Menggunakan
metode hisab untuk menentukan awal Ramadhan atau Syawwal sesungguhnya
merupakan hal yang diperdebatkan oleh fuqaha di masa lalu.
Tetapi kalau harus jujur dan amanah apa adanya, memang dalam literatur agama Islam tercatat bahwa umumnya para fuqaha menolak keabsahan metode hisab ini dan lebih menggunakan rukyatul hilal.
Namun pemikiran tentang penggunaan hisab untuk menetapkan hilal Ramadhan dan Syawwal kalau mau diteliti lebih jauh, kita akan menemukan pendapat yang membolehkan pada satu dua pendapat orang tertentu, meski pun sebenarnya penisbatannya masih juga menjadi perdebatan.
1. Jumhur : Tidak Membolehkan
Kebanyakan pendapat sepanjang zaman mengatakan bahwa tidak sah
menggunakan metode hisab untuk menetapkan awal Ramadhan dan Syawwal.
tidak sah penentuan awal Ramadhan dengan mengikuti al-munajjim (ahli bintang), maksudnya adalah ahli falak. Apa yang mereka lakukan tidak berlaku, baik untuk diri mereka sendiri, apalagi untuk orang lain.
Selain itu Al-Malikiyah juga mempersalahkan pemerintah apabila menetapkan awal Ramadhan dan Syawwal dengan menggunakan hisab, serta menyebutkan tidak perlu ikut imam dalam kasus seperti ini.
Tetapi kalau harus jujur dan amanah apa adanya, memang dalam literatur agama Islam tercatat bahwa umumnya para fuqaha menolak keabsahan metode hisab ini dan lebih menggunakan rukyatul hilal.
Namun pemikiran tentang penggunaan hisab untuk menetapkan hilal Ramadhan dan Syawwal kalau mau diteliti lebih jauh, kita akan menemukan pendapat yang membolehkan pada satu dua pendapat orang tertentu, meski pun sebenarnya penisbatannya masih juga menjadi perdebatan.
1. Jumhur : Tidak Membolehkan
Kebanyakan pendapat sepanjang zaman mengatakan bahwa tidak sah
menggunakan metode hisab untuk menetapkan awal Ramadhan dan Syawwal. a. Mazhab Al-Hanafiyah
Pendapat yang muktamad dari mazhab Al-Hanafiyah bahwa syarat wajibnya puasa dan lebaran adalah rukyatul hilal. Dan pendapat muaqqitin diabaikan saja meski punya sifat adil. Dan siapa saja yang mengikuti imam seperti itu maka dia telah menyalahi syariat.b. Mazhab Al-Malikiyah
Madzhab Al-Malikiyah dengan tegas menolak penggunaan hisab untuk menetapkan awal Ramadhan dan Syawwal. Di dalam kitab Asy-Syarhu Ash-Shaghir karya Ad-Dardir disebutkan :tidak sah penentuan awal Ramadhan dengan mengikuti al-munajjim (ahli bintang), maksudnya adalah ahli falak. Apa yang mereka lakukan tidak berlaku, baik untuk diri mereka sendiri, apalagi untuk orang lain.
Selain itu Al-Malikiyah juga mempersalahkan pemerintah apabila menetapkan awal Ramadhan dan Syawwal dengan menggunakan hisab, serta menyebutkan tidak perlu ikut imam dalam kasus seperti ini.
إِنَّ الإْمَامَ الَّذِي يَعْتَمِدُ عَلَى الْحِسَابِ لاَ يُقْتَدَى بِهِ وَلاَ يُتَّبَعُ
Imam yang berpegangan kepada hisab tidak dijadikan pemimpin dan tidak perlu diikuti. c. Mazhab Asy-Syafi'iyah
Ulama kenamaan dari mazhab Asy-Syafi'iyah, Al-Imam An-Nawawi menuliskan masalah ini di dalam Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab :
لاَ يَجِبُ صَوْمُ رَمَضَانَ إِلاَّ
بِدُخُولِهِ وَيُعْلَمُ دُخُولُهُ بِرُؤْيَةِ الْهِلاَل فَإِنْ غُمَّ
وَجَبَ اسْتِكْمَال شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ ثُمَّ يَصُومُونَ سَوَاءٌ
كَانَتِ السَّمَاءُ مُصْحِيَةً أَوْ مُغَيِّمَةً غَيْمًا قَلِيلاً أَوْ
كَثِيرًا
Tidaklah diwajibkan puasa
Ramadhan kecuali telah masuk. Dan masuknya diketahui dengan
rukyatul-hilal. Apabila terhalang awan wajiblah istikmal bulan
sya'ban menjadi 30 hari. Kemudian berpuasalah, sama saja apakah langit
terang atau gelap, gelap sedikit atau banyak. d. Ibnu Taimiyah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam Majmu’ Fatawanya yang terkenal itu menegaskan bahwa orang-orang yang berpegangan kepada hasil perhitungan (hisab) dalam penetapan hilal, hukumnya sesat di dalam syariah, dan merupakan bid’ah di dalam agama.
2. Pendapat Yang Membolehkan
Ketiga tokoh ini konon dianggap punya pendapat bahwa apabila hilal tidak nampak, digunakan hisab dan bukan dengan cara menggenapkan hitungan bulan menjadi 30 hari.
Pendapat hisab ini didasarkan atas penafsiran dari hadits lainnya, yaitu :
Kata faqduru lahu ditafsirkan oleh kalangan ini sebagai perintah untuk menggunakan hisab. Karena qadar atau ukuran artinya adalah hitungan.
Namu penisbatan Muhtarrif sebagai tokoh yang membolehkan penggunaan hisab masih jadi perdebatan. Sebab Ibnu Abdil Barr berkata bahwa Muhtarrif tidak berpendapat demikian. Dan dikuatkan lagi oleh Ibnu Rusydi yang mengatakan bahwa
Namun menurut jumhur ulama, makna faqduru lahu bukan perintah untuk menggunakan ilmu hisab, namun maknanya adalah genapkan usia bulan Sya'ban menjadi 30 hari, sebagaimana hadits shahih di atas.
Dari keterangan ini bisa kita simpulkan bahwa penggunaan hisab dalam penetapan awal bulan bukan pendapat jumhur ulama, melainkan pendapat sebagian ulama.
Dan lebih penting dari itu semua, penggunaan hisab tidak disandingkan dengan ru'yatul hilal, apalagi mengalahkannya. Metode hisab baru digunakan manakala sistem ru'yah tidak bisa berjalan karena langit tertutup awan. Hal ini ditegaskan dengan sabda Rasulullah SAW,
"Kalau tidak nampak hilal dalam pandangan kalian, maka..."
Namun kalau ditelurusi lebih jauh, tentu masih ada sebagian kalangan yang mendukung metode hisab. Di antaranya Mutarrif bin Abdullah Asy-Syikhkhir (w. 87 H) dari kalangan kibarut-tabi’in, Abul Abbas bin Suraij (w. 306 H) dari kalangan Asy-Syafi'iyah, dan Ibu Qutaibah (w. ) dari kalangan muhadditsin.
Ketiga tokoh ini konon dianggap punya pendapat bahwa apabila hilal tidak nampak, digunakan hisab dan bukan dengan cara menggenapkan hitungan bulan menjadi 30 hari.
Pendapat hisab ini didasarkan atas penafsiran dari hadits lainnya, yaitu :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُم فَاقْدُرُوا لَهُ
"Puasalah dengan melihat bulan dan berfithr (berlebaran) dengan melihat bulan, bila tidak nampak olehmu, maka kadarkanlah". (HR. Bukhari dan Muslim) Kata faqduru lahu ditafsirkan oleh kalangan ini sebagai perintah untuk menggunakan hisab. Karena qadar atau ukuran artinya adalah hitungan.
Namu penisbatan Muhtarrif sebagai tokoh yang membolehkan penggunaan hisab masih jadi perdebatan. Sebab Ibnu Abdil Barr berkata bahwa Muhtarrif tidak berpendapat demikian. Dan dikuatkan lagi oleh Ibnu Rusydi yang mengatakan bahwa
Namun menurut jumhur ulama, makna faqduru lahu bukan perintah untuk menggunakan ilmu hisab, namun maknanya adalah genapkan usia bulan Sya'ban menjadi 30 hari, sebagaimana hadits shahih di atas.
Dari keterangan ini bisa kita simpulkan bahwa penggunaan hisab dalam penetapan awal bulan bukan pendapat jumhur ulama, melainkan pendapat sebagian ulama.
Dan lebih penting dari itu semua, penggunaan hisab tidak disandingkan dengan ru'yatul hilal, apalagi mengalahkannya. Metode hisab baru digunakan manakala sistem ru'yah tidak bisa berjalan karena langit tertutup awan. Hal ini ditegaskan dengan sabda Rasulullah SAW,
"Kalau tidak nampak hilal dalam pandangan kalian, maka..."
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Monggo silahkan dibaca untuk pengetahuan dan menemukan pemecahan yang tepat untuk mempersatukan dengan penetapan awal ramadhan dan awal syawal...
Sumber : diambil dari berbagai sumber antara lain : web Muhammadiyyah Kalsel, nu.or.id, rumahfiqh.com, kaskus.co.id, dan lainnya...
0 komentar:
Posting Komentar