PENDIDIKAN INDONESIA DITEPI JURANG?



Pendidikan adalah tempat untuk mencetak SDM yang berkualitas untuk menjadi pondasi berdiri tegaknya suatu negara. Negara membutuhkan banyak cendekiawan yang dapat memberikan sumbangsihnya dalam pembangunan. Namun dengan berjalannya pendidikan sekarang ini, memunculkan banyak persoalan-persoalan baru yang harus dipecahkan. Karena perbedaan zaman sehingga dituntut agar mutu pendidikan lebih berorientasi pada pendidikan bertaraf internasional. Apa jadinya jika negara tidak diimbangi dengan mutu pendidikan yang baik, yang tidak memihak antara satu dengan lainnya. Keberpihakan pendidikan akan menjadikan terkotak-kotaknya status sosial yang dibarengi dengan kecemburuan sosial yang sangat tinggi.

Walaupun bentuk fisiknya baik, apa gunanya jika moral bangsa ini terpuruk. Jika hal ini terjadi, keadaan ekonomi akan bermasalah, karena akan terjadi korupsi besar-besaran. Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara kita "Indonesia" tercinta ini akan hilang dari peradaban dunia (hancur).  Oleh karena itu, pendidikan harus dijadikan sebagai pokok utama dalam pembangunan negeri ini.

Mengenai masalah pendidikan perhatian pemerintah sangat minim. Hal ini dibuktikan dengan beragamnya pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa yang makin rendah, pendidik yang kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, serta aturan UU pendidikan yang semakin kacau. Hal ini juga diakibatkan dari alokasi anggaran pendidikan baik ditingkat nasional, propinsi, maupun tingkat Kota dan Kabupaten.

Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global. 

(Kompas 14/5/2012) Kata Raihan Iskandar salah satu anggota Komisi X DPR RI, Pemerintah perlu melakukan evaluasi kritis terhadap pelaksanaan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan nasional yang berjalan selama beberapa tahun terakhir ini. berbagai data statistik menyebutkan bahwa, capaian kinerja pemerintah dalam bidang pendidikan tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Hal yang seharusnya menjadi perhatian utama adalah masih tingginya angka putus sekolah. Terdapat 10,268 juta siswa usia wajib belajar (SD dan SMP) yang tidak menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Di sisi lain, masih ada sekitar 3,8 juta siswa yang tidak dapat melanjutkan ke tingkat SMA.

faktor utama penyebab tingginya angka putus sekolah adalah ketidakmampuan masyarakat memenuhi biaya pendidikan. Kemiskinan menjadi sebab utama angka putus sekolah dan tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya. Masih tingginya angka putus sekolah dan siswa yang tidak melanjutkan pendidikan, merupakan cermin masih terbatasnya akses pendidikan yang bisa dijangkau masyarakat. Padahal, dari tahun ke tahun, anggaran pendidikan nasional telah mengalami kenaikan signifikan. 

Pada tahun 2010, APBN untuk sektor pendidikan mencapai Rp 225 triliun, dan pada tahun 2011 meningkat menjadi Rp 249 triliun. Untuk tahun 2012 mendatang, APBN pendidikan kembali mengalami peningkatan hingga mencapai Rp 286 triliun. Dana Bantuan Operasional (BOS) sebagai instrumen penopang rogram wajib belajar sembilan tahun juga meningkat dari tahun 2011 sebesar Rp 16 triliun, menjadi Rp 23 triliun untuk tahun 2012.

Selain tidak tepat waktu, sasaran, dan penggunaan, nyatanya BOS tidak bisa mencegah praktek pungutan yang marak terjadi. Kenaikan anggaran pendidikan yang signifikan ternyata tak berbanding lurus dengan upaya penghentian siswa putus sekolah. Akan tetapi, tingginya alokasi APBN dalam sektor pendidikan, dinilai menjadi sangat ironis karena berbagai kebijakan pemerintah, justru turut berkontribusi terhadap tertutupnya akses pendidikan yang terjangkau dan Pemerintah terkesan membiarkan berbagai komersialisasi dan pungutan yang marak terjadi. Salah satu contohnya kebijakan mengenai "Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI). 

RSBI hanya kebijakan asesoris yang berpotensi menghambat penuntasan program wajib belajar sembilan tahun, menghambat siswa miskin atas layanan pendidikan yang bermutu dan terjangkau. RSBI hanya sarana seleksi status sosial.

(www.ubb.ac.id) Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim.

Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.”

”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.

Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”.

Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.

Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).

Dalam APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.

Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.

Inilah gambaran pendidikan di negara kita ini. Masih banyak PR yang harus di selesaikan oleh pemerintah dari masalah anak putus sekolah, pembiayan sekolah yang mahal, aturan UU tentang pendidikan yang amburadul. Akankah pendidikan di Indonesia 2 tahun ke depan dapat lebih baik? ataukah pendidikan Indonesia ditepi jurang keterpurukan? 

Pada akhirnya kitalah yang akan menjadi bagian dari pendidikan itu sendiri. Tergantung dari kebijakan pemerintah dalam menentukan Undang-undang yang tidak berpihak dan menjadikan pendidikan itu tidak terkota-kotak. Moral bangsa kita akan menjadi taruhan akibat terkoyaknya pendidikan yang mana pemerintah kita belum dapat menentukan seperti apakah pendidikan di Indonesia ini. Sejak tahun 1954 para sastrawan terkenal kita sudah membicarakan hal ini. Sistem pendidikan apakah yang akan dipakai untuk negara Indonesia ini? Apakah akan mengikuti budaya orang luar, ataukah budaya kita sendiri?




Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment

0 komentar:

Posting Komentar